JAKARTA, KOMPAS.com - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (27/2/2013), kembali menyidangkan perkara dugaan korupsi bioremediasi fiktif PT Chevron Pacific Indonesia dengan terdakwa Direktur PT Sumigita Jaya, Herlan bin Ompo, dan Direktur PT Green Planet Indonesia Ricksy Prematuri. Para saksi dicecar soal pencampuran tanah terkontaminasi minyak dengan tanah yang sedikit terkontaminasi.
Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Sudharmawatiningsih menghadirkan tiga saksi untuk Herlan, yaitu Mukhlis (Construction Representative Chevron), Muhammad Adib (Analyst Facility Engineer Chevron), dan Ridwan bin Syair (Inspector Quality Control PT Tripatra Fluor, pengawas dari pihak ketiga). Untuk Ricksy, ada satu saksi, yaitu Winu Adiarto (Team Manager Production Optimization & Field Chevron).
"Apa pernah mengangkut tanah dengan TPH (total petroleum hydrocarbon) lebih dari 15 persen?" tanya jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung, Febru Mahdi, kepada Mukhlis.
Dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 memang disebutkan, konsentrasi maksimum TPH awal pada tanah tercemar sebelum pengolahan biologis harus tidak lebih dari 15 persen.
"Pernah kami mengangkat tanah dengan TPH lebih dari 15 persen, tapi sebelumnya dicampur dengan tanah TPH di bawah 4 persen," kata Mukhlis. Pencampuran itu, katanya, sudah menjadi prosedur standar dalam perlakuan tanah yang tercemar minyak.
Saksi Adib menambahkan, dari prosedur yang dimiliki Chevron, tanah dengan TPH lebih dari 15 persen dan kurang dari 4 persen tak boleh dibawa ke unit pemrosesan bioremediasi (soil bioremediation facility/SBF). "Jika TPH lebih dari 15 persen, saya suruh campur dengan TPH di bawah 4 persen. Setelah menjadi, misalnya 8 persen, baru diangkut ke SBF," ujar Adib.
Hakim Sudharmawatiningsih menanyakan apakah yang melakukan proses tersebut PT Sumigita Jaya.
Menjawab pertanyaan tersebut, Adib mengatakan iya. Dia menjelaskan, TPH yang boleh dibawa ke SBF harus pada kisaran 4-15 persen. Prosedur itu sudah standar dilakukan Chevron, yang juga mengacu pada Keputusan Menteri Negara LH No 128/2003. Namun, ia tak paham detail di keputusan itu.
Keputusan Menteri Negara LH No 128/2013 menyebutkan, jika konsentrasi TPH sebelum pengolahan lebih dari 15 persen, boleh dan justru perlu dilakukan pengolahan atau pemanfaatan terlebih dahulu dengan mempertimbangkan teknologi yang tersedia dan karakteristik limbah. Bahan pencampur dapat ditambahkan pada limbah untuk mengoptimalkan penguraian limbah minyak bumi oleh mikroorganisme.
Dalam keputusan itu juga dijelaskan, bahan pencampur, misalnya tanah dan pasir, adalah bahan yang ditambahkan pada pengolahan limbah minyak bumi sehingga memungkinkan penguraian limbah hidrokarbon secara mikrobiologis terjadi.
Hanya saja, karena para saksi adalah pekerja teknis, mereka tak bisa menjelaskan apa fungsi setiap tahapan. Ketika ditanya hakim mengapa tanah yang sedikit tercemar tersebut dicampurkan dengan tanah yang sangat tercemar, para saksi mengatakan tidak tahu.
"Saya tidak tahu, tapi prosedurnya seperti itu," kata Ridwan. Ridwan mengatakan, jika TPH tanah di atas 15 persen, kondisinya sudah seperti lumpur yang berbaur dengan minyak. Karena itu, tanah tersebut harus dicampur agar memenuhi kisaran TPH yang diinginkan sebelum masuk ke pemrosesan selanjutnya. (amr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.