SEMARANG, KOMPAS.com--Puluhan warga Kelurahan Sendangguwo, Semarang, menggelar ritual "bersih desa" di Punden Guwo, tempat yang dikeramatkan masyarakat setempat di wilayah itu, Kamis.
Ritual bersih desa diawali dengan mencuci "lumpang", tempat menumbuk padi yang terbuat dari batu yang dipercaya masyarakat setempat merupakan peninggalan makhluk gaib yang menghuni lokasi tersebut.
Setelah itu, prosesi dilanjutkan dengan penyembelihan kambing yang selanjutnya dagingnya dimasak dan dibagikan kepada warga sekitar, kemudian menggelar acara tumpengan dan doa di Punden Guwo.
Masyarakat, terutama kalangan ibu-ibu berbondong-bondong menuju Punden Guwo dengan membawa tumpengan lengkap dengan lauk pauknya, kemudian dikumpulkan sebelum didoakan dan dibagikan kepada warga.
Menurut sesepuh masyarakat setempat, Karmidi (59), ritual bersih desa itu sudah berlangsung turun-temurun dan sampai saat ini masih dilakukan untuk melestarikan tradisi yang diwariskan leluhur.
"Tujuan bersih desa ini ya untuk menghormati leluhur yang telah mewariskan tradisi ini. Ritual bersih desa ini rutin digelar satu kali setahun pada hari Kamis di bulan Suro (Muharram, red.)," katanya.
Ketua Rukun Warga (RW) IX Kelurahan Sendangguwo Semarang itu mengungkapkan pada ritual kali ini ada lima kambing yang dipotong, dagingnya dimasak menjadi gulai dan selanjutnya dibagikan kepada warga.
"Kambing yang dipotong ini swadaya dari masyarakat, tidak memaksa. Ya siapa yang mampu dan mau silakan menyumbang. Tidak harus jumlahnya lima ekor. Kebetulan saja tahun ini terkumpul lima ekor," katanya.
Ia mengungkapkan Punden Guwo memang dianggap sebagai tempat keramat dan sering digunakan untuk bersemedi dan bertapa, tetapi kebanyakan justru masyarakat luar, seperti Yogyakarta, Solo, hingga Purwokerto.
"Berdasarkan cerita turun-temurun, penghuni gaib di Punden Guwo ini berasal dari Cirebon dan salah satu murid Sunan Kalijaga. Lumpang itu dipercaya salah satu barang peninggalannya yang nampak," kata Karmidi.
Pemuka agama setempat K.H Najib Abdullah mengatakan ritual bersih desa yang menjadi tradisi tahunan itu merupakan upaya untuk melestarikan warisan budaya leluhur dan tidak masalah dilihat dari sudut agama.
"Tidak masalah sebagai penghormatan terhadap tradisi yang diwariskan leluhur desa. Apalagi, kambing yang dipotong dan tumpengan ini kan dibagi agar bisa dinikmati secara merata oleh masyarakat," katanya.
Sementara itu, Suwarsih (52) warga Sendangguwo Semarang mengaku rutin mengikuti ritual bersih desa itu setiap tahun dan selalu menyiapkan tumpengan beserta lauk-pauknya, seperti mi goreng dan ikan asin.
"Namun, kalau tidak membawa tumpengan juga tidak apa-apa, tergantung kemampuan masing-masing. Lauknya ya terserah, yang penting tidak boleh tempe dan memasak nasi tumpengnya tidak boleh dicicipi," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.