30 April 2013

KOMPAS.com: Gambir, Risalah Sebuah Komoditas di Titik Nadir

KOMPAS.com
News and Service // via fulltextrssfeed.com
Gambir, Risalah Sebuah Komoditas di Titik Nadir
Apr 30th 2013, 03:25

KOMPAS.com- Bagi sebagian orang, gambir identik sebagai pelengkap kunyahan campuran sirih dan kapur hasil pembakaran cangkang kerang. Namun, bagi kalangan industri farmasi, tekstil, pangan, kosmetik, dan sebagainya, gambir bak permata yang kini tersuruk di barat Sumatera.

Seusai Perang Dunia II, permintaan gambir untuk pasaran dunia turun drastis. Zat katekin dan tanin yang paling banyak diburu dalam gambir mulai dicari substitusinya dari komoditas lain atau bahkan digunakan zat sintetisnya.

Padahal, menurut dosen Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang, Dr Hamda Fauza, pada masa lalu gambir adalah salah satu primadona Nusantara. Berdasarkan dokumen De Landbouwexportgewassen van Nederland Indiƫ (Bidang Pengawasan Tanaman Ekspor Pemerintah Hindia Belanda) yang dikutip Hamda, pada 1939 masih ada delapan perusahaan perkebunan gambir. Bahkan, pusat penelitian mengenai tanaman gambir didirikan di Tanjung Pati, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat.

"Namun, ketika saya datangi Tanjung Pati, bahkan bekas-bekas pusat penelitian itu sudah tidak ada lagi," katanya kepada tim Ekspedisi Jejak Peradaban Kompas.

Hamda mencatat, pada 1892 terdapat perusahaan perkebunan NV Cultuur Maatschappij Indragiri di Riau. Sementara pada 1906 terdapat Perusahaan Perkebunan Gunung Melayu di bawah Plantagen Gesselschaft (Swiss) yang beroperasi di kawasan pantai timur Sumatera (Asahan). Gambir juga diupayakan Perusahaan Tanah Havea di Sampit, Kalimantan Tengah sekarang.

Menurut Hamda, pada masa itu kawasan Selat Malaka, Kalimantan Barat, pantai timur dan pantai barat Sumatera, Bangka, serta Belitung menjadi lokasi perkebunan gambir. Dalam artikel berjudul Menatap Sejenak Era Kejayaan Gambir, Sang Primadona di Masa Lalu (Gema Andalas, 2007), Hamda menulis, pada 1920-1940 produksi gambir Indonesia mencapai 15.000 ton setiap tahun. Inggris, Amerika Serikat, Jerman, Belanda, dan Singapura adalah negara-negara penyerap hasil produksi itu dengan nilai jual 100 dollar AS hingga 400 dollar AS per ton.

Menurut catatan Hamda, pada 1830 industri cat di Inggris mulai menggunakan gambir. Pada 1839, ekspor gambir ke Inggris mencapai 5.213 ton dan terus meningkat. "Bahkan, proses produksi gambir saat itu masih lebih canggih jika dibandingkan dengan proses yang dilakukan petani gambir sekarang," kata Hamda.

Perdagangan gambir yang menggeliatkan Nusantara ini direkam William Marsden dalam Sejarah Sumatra yang dimuat dalam edisi ketiga buku tersebut pada 1811 dan diterbitkan ulang Komunitas Bambu (2013).

Marsden menyebutkan, kala itu gambir merupakan komoditas dagang penting di Siak, Kampar, Indragiri, dan kawasan timur Sumatera. Hamda menduga, maraknya gambir di kawasan tersebut kemungkinan karena komoditas itu berasal dari kawasan Semenanjung Malaya.

"Di Sumbar, selain spesies Uncaria gambir yang dibudidayakan, ada 12 spesies lain dengan genus yang sama," ujar Hamda.

Menurut Hamda, gambir turut membentuk perkembangan kawasan di sekitar Limapuluh Kota. Termasuk di dalamnya Kota Payakumbuh dan keramaian aktivitas ekspor-impor bersama sejumlah komoditas lain di Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) yang dibangun pada 1880 pada era meredupnya kejayaan pantai barat Sumatera.

Soal keterkaitan antara perkebunan gambir di kawasan perbukitan dan aktivitas maritim tergambar dalam buku Sengketa Tiada Putus Matriarkat, Reformisme Agama, dan Kolonialisme di Minangkabau oleh Jeffrey Hadler, Freedom Institute (2010). Jeffrey menulis bahwa orang Minangkabau memiliki budaya campuran dengan turun mengirimkan gambir, kamper, lada, dan nyaris bersamaan memiliki pula tradisi maritim.

Namun, seusai Perang Dunia II, permintaan gambir untuk pasaran dunia turun drastis. Zat katekin dan tanin yang paling banyak diburu dalam gambir mulai dicari substitusinya dari komoditas lain atau bahkan digunakan zat sintetisnya. Perusahaan-perusahaan yang sebelumnya aktif mengupayakan gambir berganti ke komoditas lain. Imperium gambir di Nusantara terlipat dengan cepat.

Hamda mengatakan, hanya di Sumbar gambir masih bertahan. "Karena kebiasaan sebagian warga mengonsumsi gambir dan disebabkan kemampuan sebagian masyarakat yang hanya terbatas membudidayakan gambir," ucap Hamda. Lebih khusus lagi, saat ini gambir relatif hanya terkonsentrasi di Kabupaten Limapuluh Kota dan Pesisir Selatan, Sumbar.

Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Barat Fajaruddin menyebutkan, berdasarkan data statistik pada 2011, luasan kebun gambir 21.404 hektar yang melibatkan tenaga kerja 8.000 hingga 9.000 keluarga. Lahan itu tersebar di Kabupaten Limapuluh Kota seluas 14.577 hektar, Pesisir Selatan 5.023 hektar, Sijunjung 231 hektar, Padang Pariaman 224 hektar, Agam 446 hektar, Pasaman 641 hektar, Pasaman Barat 157 hektar, Padang 95 hektar, dan Sawahlunto 10 hektar. Produksinya 14.025 ton per tahun dengan sekitar 85 persen diekspor ke India dan Asia Selatan.

Menurut Fajaruddin, tingkat permintaan per tahun naik sekalipun relatif kecil. Besarannya 2 persen hingga 3 persen.

Tidak lagi bergairah

Pada artikel berjudul Permasalahan Gambir (Uncaria gambir L) di Sumatera Barat dan Alternatif Pemecahannya yang ditulis Azmi Dhalimi (Perspektif Volume 5 Nomor 1, Juni 2006) tertulis, selama periode 2000-2004 ada peningkatan volume ekspor sebesar 87,49 persen. Adapun 80 persen kebutuhan gambir dunia dipasok dari Sumbar dengan tujuan ke India, Banglades, Pakistan, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Perancis, dan Swiss.

Akan tetapi, hal tersebut tidak tecermin di lapangan. Saat ini, sebagian besar petani gambir di Nagari Simpang Kapuk, Kecamatan Mungka, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, justru sedang berjuang menghadapi rendahnya harga. Harga gambir hanya Rp 16.000 per kilogram, menurun dibandingkan beberapa pekan sebelumnya yang sebesar Rp 24.000 per kilogram.

Produksi gambir per pekan dari perkampungan itu juga turun sekitar 25 ton dibandingkan sekitar dua tahun lalu sebanyak 40 ton setiap minggunya. Ini disebabkan banyak petani enggan memproses hasil tanaman menyusul rendahnya harga.

Dua petani gambir, Fetrizal (32) dan Sahirman (42), menyebutkan, harga itu tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. "Karena hasil yang diperoleh biasanya dibagi dua terlebih dulu dengan pemilik kebun. Lantas sisanya dibagi rata dengan pekerja," ujar Fetrizal.

Harga yang rendah cenderung identik dengan kerawanan pangan. Menurut Wali Jorong Simpang Goduang, Nagari Simpang Kapuk, Ardi Putra, hal itu menyusul nyaris tidak adanya sawah. Ia menyebutkan, dari sekitar 3.500 keluarga di nagari itu, sekitar 90 persen mengupayakan perkebunan gambir.

Ardi yang juga Sekretaris Asosiasi Petani Gambir Indonesia menyebutkan, fluktuasi harga menjadi persoalan yang belum juga teretas. "Kami hanya tahu setelah dari petani lalu ke pedagang pengumpul. Setelah itu, jalur perdagangan gelap dan kami tidak tahu siapa yang menentukan harga sekalipun hanya kami yang punya gambir," katanya.

Editor :

Marcus Suprihadi

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.